Senin, 23 Juni 2014



“apa yang kulakukan disini brah?” aku bertanya pada diriku sendiri. Aku bertanya mengapa hanya aku yang salah gaul berada disini. Apa yang kulakukan? “ya kau berjanji untuk menjadi orang lain hari ini dan punya hobi, punya sesuatu yang kau senangi, punya sesuatu yang…” dan kata-kataku tidak berjalan mulus… dan kembali aku menapaki trotoar. Ketika jam menunjukkan pukul 12.00 malam dan tak ada yang bisa kulakukan sembari memandangi pintu mall yang menutup dan kerumunan yang menipis.

Tetapi apa yang bisa kau harapkan? Aku tidak punya hobi, aku tidak punya sesuatu yang aku senangi. Aku hanyalah cangkang kosong. Aku hanyalah sesuatu yang dipakai dan dibuang ketika rusak, luka dan diganti ketika nafasku berhenti. Sebuah sekrup kecil disebuah mesin berwarna hijau dibalik topi baja.

Merapatkan tubuhku dibalik mantel hujan menahan angin dingin, mengelus tengkukku dengan telapak tangan yang kasar. Satu dua lima luka terasa. Setiap luka dihargai dengan sepotong logam dan sedikit uang. Sendirian, terkadang teman yang kumiliki hanya kesepian itu sendiri, dan tak terhitung teman yang aku kuburkan, dilepas dalam salvo atau terkubur entah dimana tanpa bisa diambil kembali. Aku sendirian.

Kali ini aku tegak sendirian, bermandikan hujan, lebih baik pulang. Aku tidak punya apapun, buat apa aku disini? Seketika aku merasa bulu tenkuk berdiri dan aku melirik ke sebelah kiri. Seorang gadis, mungkin menunggu taksi, sama denganku. Selama ia tidak menghunus pisau atau melempar granat, dia bukan urusanku.

“nothing gonna lasts forever even cold november rain….” Senandungnya disebelahku.

“the rain may not lasts forever, but the heinous cold shall stay.” Kataku…
Dan dua mata itu memandangku, belo, besar dengan pandangan penuh ingin tahu.

“hah? Maaf kak?”

“tidak ada, aku tahu lagu itu used to heard that when I was at your age.” Aku memandangnya, dibalik kacamata. “oh maaf, lancang sekali, tetapi aku heran masih ada yang mendengarkan lagu itu.”

“ooh, saya mah denger lagu apa aja. Ga peduli kayak apa, kalau bagus ya didenger.”

“termasuk lagu yang didengarkan oleh orangtuaku juga?” jawabku
Dia tersenyum dan matanya hilang! Seketika.. aku tidak tahu yang pasti, “waah kalau itu ga masalah kak, yang penting lagunya bagus kita dengar, ya kak ya?” jawabnya dengan nada polos… yang sangat lucu, and… damai.

“terserahmu, nyanyikan aku satu lagu lagi.”

“bayar kak!” jawabnya lincah.

Tanpa berpikir aku mengeluarkan dompet, “berapa satu lagu?”

“limapuluh ribuuu!” teriaknya sementara rintik hujan semakin deras.

“murah amat. Kenapa Cuma limapuluh ribu? Ini seratus ribu mau?” jawabku sembari melambaikan duit merah.

“yah si kakak serius amat. Biasanya orang bayar limapuluh ribu dengar aku nyanyi gitu kak!” jawabnya dengan nada labil.

“anak sekecil kamu udah nampil, nyanyi lagi? Dan orang-orang Cuma bayar limapuluh ribu?” tanyaku dengan nada tak percaya.

“bukan uang kak, tetapi hal yang lebih dari itu. Terkadang ada yang lebih dari itu, seperti cinta yang mereka sempatkan buat kami, aku yang menghibur mereka…”

“kau percaya cinta dek?”

“tentu aja kak, siapa yang enggak kak..”

“aku sudah melupakan itu sejak lama…” Ia memandangku dengan penuh ingin tahu, seolah aku datang dari dimensi lain dan menunggu taksi ditempat yang sama dengan kami berdiri sekarang. “well, kita berasal dari dunia yang berbeda. Aku dan kamu itu seperti dua ekor burung, kamu merpati aku rajawali.”

“ah si kakak rempong, aku sukanya bukan burung, tapi kucing.” Dan lagi, seperti ada seseorang menuang es kedalam tubuhku ketika matanya menghilang. Sial,

“ahh bagaimana kalau begini, kamu kucing anggora.. aku macan, kita sama-sama kucing tapi kita tidak hidup ditempat yang sama. Begitulah diantara kita sekarang, kamu dirumah, aku dihutan. Tapi tetap saja aku lebih suka dengan merpati dan rajawali.”

“iya deh kak ya, terserah.” Jawabnya lucu. “kakak misterius banget, memangnya kakak kerja apaan? Penulis? Penyair?”

“pekerjaanku? Bisa dibilang, pekerjaanku adalah mastiin cewek-cewek lucu sepertimu tetap bisa menyanyi, tetap bisa tersenyum, tetap bisa menghibur orang lain.”
“mulia banget.” Jawabnya sembari tersenyum manis dan menggigil. Aku melepas surban yang melingkari leherku dan mengalungkannya disekeliling lehernya. “lho kak?”

“penyanyi ga boleh membiarkan lehernya kena angin dingin.. nanti suaramu jadi serak. Dan juga, sepertinya kita sudah terlalu lama disini. Dan sepertinya kamu sengaja membiarkan beberapa taksi lewat.”

“aku tidak tahu kak, sepertinya aku penasaran mendengar cerita kakak.” Ia memainkan air yang mengalir diantara hujan. Begitu damai dan begitu tenang.. suatu dunia yang aku tidak pernah bisa dapatkan.
Sembari meregang tubuh aku berujar, “ceritaku tidak selalu menyenangkan, adik kecil. Dan kadang aku ragu kita bisa ketemu lagi.”

“ah enggak mah kak, kita selalu bisa ketemu. Aku selalu nampil diatas mall itu, di teater. Aku gak kemana-mana kok kak.”

“kalau aku sesama merpati sepertimu mungkin aku bisa selalu bertemu denganmu. Bergabung dengan fansmu, ikut menikmati suaramu. Tetapi kita mungkin sesama burung, tetapi langit yang aku huni tidak sama dengan langit yang kamu lihat.”
Mukanya semakin bingung, “ah iya deh kak ya, aku gak mengerti sih, tapi iya aja deh.”

“siapa namamu?” tanyaku sembari melangkah ke depan.

“ika, riska Fairunisa.”

“namaku—“ aku tidak bisa mendengar suaraku sendiri akan tetapi ia tersenyum.

“nama kakak bagus,” aku melambai pada sebuah taksi dan taksi itu menepi. Pintu terbuka..

“apa ga barengan aja kak?” tanyanya.

“ga perlu.” Aku menjabat tangannya, “masih ada perlu yang lain. Makasih udah nemenin aku, kha”

“beneran, aku tunggu kakak di teater.. teater… datang ya liat aku nampil.”

“enggak janji.” Tetapi dalam hati berbisik… harus… harus datang melihatnya lagi, whatever it costs.

Pintu menutup dan senyumnya membayang diantara rintik hujan. Meninggalkanku sendiri. Dan.. sial.. surbanku dia bawa! Mana belum dicuci lagi. Sialan. Sementara aku merasa dua, empat, tujuh bayangan bertubuh besar berdiri dibelakangku. Mereka mengangguk. Sudah waktunya. Dan aku berlari mendekat..

Disuatu tempat tak bernama…rimba papua..
Aku terduduk disebuah ceruk sementara lumpur terus naik setinggi dada, menenggelamkanku perlahan. Dan hujan tunduk, hujan bercampur butiran kabut yang menyapa malu-malu. Aku menghirup udara dalam-dalam namun mulai tercekik.

Terbatuk bersama butiran cairan berwarna merah muda. Paru-paru sebelah kiri hancur. Perut berlubang… dan terduduk sendirian bersama tubuh-tubuh lain yang tak bernyawa, sebagian terluka sementara tempik sorak bercampur letupan terdengar disekujur penjuru. Teriakan, sorakan, jeritan, suara daging dihempas peluru dan bau asap mesiu diantara hujan.

Wajah teman yang terluka, kosong. Wajah teman yang tewas, kosong. Dan akhirnya akupun tidak tahu untuk apa kesia-siaan ini terus berlanjut. Mengapa kami harus meregang dan bertaruh nyawa hanya demi sebuah bukit… dan satu suara berdegup, tepat diantara tubuh teman-temanku yang terluka, tepat didepanku… bulat mungil seperti manggis berwarna coklat.

Nyawa memang murah, nyawaku, tetapi aku tidak tahu mengapa dengan sisa tenagaku tubuhku melompat, menyelubungi manggis imut dengan tubuhku. Sementara satu dorongan terasa menarikku keatas.

Hujan rintik-rintik, malu-malu menyapa, sementara pandanganku meredup. Helmku terguling.. dan kulihat sesuatu disana, kulihat wajahnya, matanya sipit menghilang tersenyum padaku..dikotori satu dua titik coklat, darah? … dan aku tahu sekarang untuk apa aku hidup..
Memperpanjang senyumnya beberapa saat, jam, hari ataupun tahun.. aku tidak tahu.. aku tersenyum sementara semuanya menjadi gelap. Hal terakhir yang kusebut adalah… I adore you ikha.. riskha … eventough you never know it..

Disatu tempat seorang gadis memandangi matahari yang terbenam dari balik jendela teater.. ia tak tahu mengapa.. mengapa mendadak airmatanya jatuh.. ia tak tahu mengapa ketika mendadak ia menyentuh surban coklat itu airmatanya jatuh. Memeluk kain lusuh, dan memandang mentari terbenam diantara latar langit. Yang menimbulkan retakan… kemana pria itu? Kemana dia? Dan Ikha tahu ia bukan pengecut, namun apabila ia tidak bisa datang, maka jadilah.. tetapi mengapa harus menjatuhkan airmata demi itu? Mengapa ia begitu.. bukan kecewa, tetapi sedih… hingga ikha mengingat beberapa hal. Terutama :

“pekerjaanku? Bisa dibilang, pekerjaanku adalah mastiin cewek-cewek lucu sepertimu tetap bisa menyanyi, tetap bisa tersenyum, tetap bisa menghibur orang lain.”
Dan meskipun absurd ikha berbisik, “Mungkin aku bisa mengerti… Rajawali.” Dan encore bergemuruh memintanya dan rekannya untuk kembali memberi warna dan senyum bagi siapapun yang berbaik hati memujanya… with undying faith

Credit to author

0 komentar:

Posting Komentar

New Posts