Senin, 23 Juni 2014



Shania dan Ayana adalah sepasang sahabat. Mereka telah menjalin persahabatan sejak mereka masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Shania lebih muda dari Ayana, namun selisih umur mereka tidak begitu jauh, hanya beberapa bulan.

Persahabatan mereka terlihat sangat dekat meskipun mereka memiliki banyak sekali perbedaan. Shania memiliki postur tubuh yang tinggi, sedangkan Ayana memiliki postur tubuh yang lebih pendek darinya. Shania memiliki keluarga yang harmonis, dia hidup di lingkungan keluarga yang sehat dengan kebutuhan sehari-hari yang lebih dari cukup. Hal itu berbanding terbalik dengan Ayana, ia hidup di keluarga yang sudah terpecah-belah. Ibunya meninggal 5 tahun yang lalu akibat kecelakaan. Dia hanya tinggal bersama ayahnya yang mengidap penyakit stroke dan hanya hidup mengandalkan gaji pensiunan milik ayahnya. Ayana sebenarnya memiliki seorang adik perempuan, namun dia telah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu akibat terserang penyakit demam berdarah.

Sifat Shania dan Ayana juga sangat bertolak belakang. Ayana adalah seorang yang sabar, seseorang yang selalu lebih mementingkan kepentingan oranglain daripada kepentingan dirinya sendiri. Sedangkan Shania, sifatnya berbanding terbalik dengan Ayana. Shania mungkin telah terbiasadiperhatikan, bukan memerhatikan. Dia memang anak yang paling disayang dikeluarganya. Nggak heran, dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Usianya terpaut jauh dengan dua orang kakanya. Dimanapun kapanpun selain dirumahnya dia juga dapat beradaptasi dengan baik. Kehebatannya bergaul dan parasnya yang cantik membuat hamper semua orang yang mengenalnya dapat menjalin hubungan baik dengannya, lain dengan Ayana yang sangat sulit untuk bergaul. Bagi Ayana, Shania-lah sahabat satu-satunya yang dia miliki.
~oOo~
Kini mereka berdua telah duduk dibangku kelas XII SMA. Entah merupakan kebetulan atau bukan, semenjak duduk dibangku Sekolah Dasar mereka selalu saja mendapat kelas yang sama. Ayana duduk dimeja tepat di depan guru seorang diri, karena hari itu Shania sedang lebih dekat dengan temannya yang lain dikelas itu. Namun, jika Shania sudah merasa bosan dengan semua orang dikelas itu, maka ia akan kembali duduk bersama dengan Ayana. Nah, jika hal itu terjadi, ketika sahabatnya Shania kembali menganggapnya sebagai seorang sahabat, dia pasti akan mencatat nya disebuah buku kecil, seperti buku diary miliknya. Warnanya biru muda bergambar bunga, pita, dan dua burung dara yang sedang terbang. Sebenarya itu adalah buku lama yang dimiliknya semenjak dia masih sebagai murid Sekolah Dasar. Dia membelinya di sebuah toko ketika pergi ke Bandung bersama ayah dan ibunya. Dia membeli 2 buku yang sama, yang satu diberikannya kepada sahabatnya Shania, namun Ayana sudah sangat lama tidak pernah melihat Shania membawa buku kecil itu. Yang satu lagi tentu untuk dirinya sendiri, dan akhirnya buku itu menjadi tempatnya menuliskan ceritanya bersama Shania, hanya bersama Shania. Tekadang pula ia hanya menuliskan tentang Shania saja dalam buku itu.

‘Januari 25, 2012…… Hari ini Shania duduk bersama Uzima. Ini adalah kali ke- 16 dia berpindah duduk selama kami bersekolah di SMA ini.
Ayana menulis perlahan, ditutupnya kemali buku itu setelah dia selesai menulis. Matanya kembali bergerilya mencari Shania. Setelah dia menemukan sosok cantik itu dia menancapkan pandangannya pada Shania. Kemanaun Shania pergi, maka disanalah ia akan mengalihkan pandangannya.
~oOo~
Pagi hari ketika pelajaran B.Indonesia sedang berlangsung seorang tetangga Ayana menghampiri ke kelasnya. Guru B.Indonesia, Bu Rosani yang sedang mengajar di kelas Ayana pun menyambut. Mereka berbincang bincang di depan pintu kelas. Ayana yang semakin terbenam dalam kepenasarannya hanya bisa diam, dipandangnya arah depan pintu tempat gurunya dan tetangganya berbicara.

 “Ayana …!”  kata Bu Rosani yang masih berdiri didepan pintu, menatap kearah tempat duduk Ayana.
Ayana yang kaget mendengar suara gurunya langsung meninggalkan bangkunya dan menuju pintu.
 “Berbenahlah” Bu Rosani berbisik kepada Ayana.
 Ayana masih beum mengerti, namun belum juga dia gerakan mulutnya untuk meminta penjelasan Bu Rosani  kembali mengulangi perkataannya
“Berkemaslah, nanti saudaramu ini yang akan menjelaskannya padamu”
Akhirnya Ayana menuruti perintah gurunya. Dia kembali ke bangku tempat duduknya dan mengemasi bukunya. Shania yang hari itu duduk bersamanya juga menjadi bingung.
“Ayana, ada apa?”
“Aku juga belum tahu.” Ayana menjawab ringan sambil mengemasi bukunya.
“Doakan saja semuanya akan baik-baik saja.” Ayana tersenyum dan beranjak dari bangkunya.
“Pastinya, hati-hati ya” Shania membalas, dan Ayana hanya membalas dengan senyuman.

Di luar kelas, tetangga Ayana menyambutnya. Wanita paruh baya itu menyambut Ayana, kemudian pamit kepada Ibu Rosani.
Dalam perjalana menggunakan angkutan umum Ayana dan tentangganya itu masih terdiam, Ayana pun tidak menanyakan sesuatu, dia mulai berpikir tentang sesuatu yang buruk. Selintas bayangan ayahnya terlintas dibenaknya. Pikiran itu semakin dan semakin jelas, walau Ayana berusaha menghilangkan firasal itu, tapi tidak bisa. Ayana mulai meneteskan air mata, tetangganya yang duduk disebelahnya kemudian merangkulnya, sepertinya dia sudah tahu apa yang terlintas di pikiran Ayana.

Tangisan Ayana semakin menjadi ketika sampai di depan rumahnya. Rumahnya terlihat lebih ramai dari biasanya. Tanpa bertanya kepada siapapun Ayana langsung masuk ke dalam rumahnya dan menuju kamar ayahnya. Dan benar ayahnya sedang berbaring, tanpa suara. Ayana tertunduk lemah, air matanya mengalir sangat deras. Perlahan dia merangkak menuju tempat ayahnya berbaring. Ayahnya masih bernapas, dia masih bisa bersuara, tapi matanya nggak dapat lagi bergerak.
“Ayana..” ucap ayahnya terbata-bata.
“Iya yah” Ayana mendengar ucapan ayahnya dengan seksama.
“Uj,, ujian depan.”
Ayana mencoba untuk mengerti perkataan ayahnya.
“Kamu..harus lulus.” ucap ayahnya.
“Ya, ayah Ayana akan lulus dengan nilai yang memuaskan.”
“Anak-ku tersayang, jaga dirimu baik-baik.” Dan ayahnya pun menghembuskan nafas terakhirnya.
“AYAH…!!!” Teriak Ayana.

Tetangganya mencoba untuk menenangkannya,
“Ayah…!!!” Ayana kembali terduduk lemas, dia mencoba melemparkan pandangannya menuju seluruh penjuru ruangan sempit itu, isak tangisnya terhenti, napasnya tersendat-sendat, hingga dia tidak mampu menguasai kesadarannya lagi.
Setelah upacara pemakaman Ayah Ayana selesai, teman teman dan guru-gurunya mengucapkan rasa duka-cita yang dalam kepadanya. Ayana yang sampai saat itu masih belum bisa menghentikan tangisnya, menerima belasungkawa mereka dengan baik. Namun dari sekian banyak teman yang datang, tidak terlihat Shania diantara mereka. Ayana tahu, bahwa Shania tidak suka acara semacam itu. Ayana pun memakluminya.
‘February 27, 2012….. Hari ini pemakaman ayahku, dan Shania nggak ada di sini’
Ayana menulis pada uku kecilnya setelah dia mulai menguasai dirinya. Ayana membuka-buka buku biru yan tebal itu,
“sudah hampir habis.” Katanya kepadda dirinya sendiri dengan suara sudah hampir habis.
Dia membuka kembali halaman demi halaman buku itu.

‘March 28, 2006…. Aku punya 2 diary baru, yang satu buat Shania, yang satu buat aku…’
‘May 1, 2007….. Shania nggak jahat, aku yang salah’
‘May 4, 2007…… Shania sangat baik, dia mau memaafkanku’
Ayana teringat sekilas dengan kejadian yang terjadi pada kedua kejadian itu. Kejadian sewaktu Shania ngambek karena dia nggak memperhatikan cerita Shania. Walau sebenarnya, Shania juga sering nggak memperhatikan Ayana saat dia bicara. Tapi Ayana dapat mengerti.
‘February 28, 2012…. Bodohkah aku?
~oOo~
Dua bulan kemudian, ujian kelulusan dimulai. Seluruh siswa dan siswi kelas XII berjuang untuk mendapatkan hasil yang terbaik, termasuk Ayana dan Shania.
‘April 25, 2012… Seperti ujian-ujian sebelumnya, Shania mengambil jawabanku, dan menyalinnya…’
 ‘May 26, 2012… Aku lulus, Shania juga…’
~oOo~
Malam ini diadakan acara perpisahan di SMA tempat Shania dan Ayana bersekolah selama ini, Mereka berdua menghadiri acara tersebut, namun mereka nggak datang bersama. Ayana berangkat dari rumahnya seorang diri, dan Shania berangkat bersama kekasih barunya. Tentu, Ayana tahu semua itu.

Di tengah pesta itu, semua orang bersenang-senang. Begitu juga dengan Shania, dia seperti seorang artis malam itu. Gaun berwarna merah yang dikenakannya membuatnya terlihat sangat anggun. Mungkin hanya Ayana yang tidak terlihat bahagia saat itu. Wajahnya terlihat pucat. Hal itu membuat Shania berhenti sejenak dalam kesenangannya dan menghampiri Ayana yang tengah duduk di sebuah kursi
“Hey Ayana, aku liat dari tadi kamu diem aja, kenapa hey?” Tanya Shania
“Tak apa.., Kau tak mengerti.” Balas Ayana ringan
“Oh, sekarang kamu udah berani main rahasia-rahasiaan denganku ya?” Shania melanjutkan pembicaraannya,ia mencoba untuk menggoda Ayana.
“Rahasia? Aku nggak pernah ingin menyimpan sebuah rahasia pun denganmu, Shania..Kau saja yang nggak pernah memberiku kesempatan untuk melakukannya.”
Muka Shania berubah, dia mengerutkan keningnya, dari wajahnya terlihat jelas kebingungannya,
“Hah? Apa maksudmu? Aku nggak mengerti sama sekali.”
“Dari dahulu, aku juga tahu kau nggak pernah mengerti aku” Ayana berkata pelan dan datar.
“Aku yang dari dulu sangat mengertimu, kan? Iya kan?” ucap Ayana
Ayana menengok ke arah Shania, sedang Shania masih bingung dengan apayang di bicarakan sahabatnya itu.
“Shania, dari semejak kita bertemu, sadarkah kamu nggak pernah mengerti aku? Kamu nggak tahu kan aku menyukai pantai? Kau tak tahu kan aku tak suka sandwich yang selalu mamamu bawakan untuk kita?” Ayana tersenyum ke arah Shania lagi
kemudian melanjutkan perkataannya, “Tapi aku tahu kau, Shania. Sangat tahu. Sadarkah kamu, kamu sudah berpindah tempat duduk 24 kali selama kita berada dalam satu kelas yang sama?”
Ayana menarik napasnya sejenak, ditundukkan kepalanya dan dia melanjutkan pembicaraannya.
“Dan aku juga sangat tahu kamu nggak suka upacara pemakaman.” Ayana kemudian terdiam.
“Ayana, maafkan aku, aku nggak bermaksud untuk nggak menghadiri pemakaman ayahmu.” Shania terbata-bata.

“Nggak apa-apa kok, aku juga ngerti, Shania.. Aku yang harusnya minta maaf kepadamu. Aku seharusnyatidak  berbica selancang ini padamu. Tapi…”
Ayana menarik napasnya lagi, dan menghempaskannya perlahan, “Tapi, aku nggak akan bisa bicara seperti ini selain hari ini…”
Ayana benar benar membuat Shania menjadi bingung, “Ayana?”
Ayana berdiri dari tempatnya semula duduk, “Ayahku hanya ingin aku lulus dengan nilai yang bagus.” Dia menoleh pada Shania,
“Aku pergi dulu Shania, Sahabatku Maafkan aku .”
Ayana telah meninggalkannya namun Shania masih, duduk terdiam, dia masih nggak begitu mengerti apa yang diakatakan Ayana
‘June 16, 2012…. Hari ini, hari pertama aku berkata lancang kepada Shania, dan Mungkin jadi yang terakhir juga’
Ayana menulis pada buku biru kecilnya, kali itu di halaman terakhir.
~oOo~
Keesokan harinya, Shaniaterkejut mendengar bahwa sahabatnya, Ayana telah meninggal dunia. Awalnya dia nggak mempercayainya hingga Shania akhirnya benar-benar menemui Ayana, sahabatnya itu terbaring pucat di atas tempat tidurnya. Shania nggak menyangka, upacara pemakaman pertama yang dia hadiri adalah upacara pemakaman sahabatnya sendiri.
Shania bertanya kepada tetangga Ayana tentang penyebab kematiannya,

“Dari kemarin Ayanamemang terkena panas tinggi dek…” salah satu tetangga Ayana menjelaskan. “Sudah di bujuk untuk pergi ke dokter, namun dia bilang dia nggak perlu. Saya sendiri juga kaget mengetahui Ayana sudah meninggal pagi-pagi tadi.”
Shania masih tercengang, dia belum sepenuhnya mempercayai kenyataan.
~oOO~
Setelah upacara pemakaman Ayana selesai, Shania kembali menuju rumah Ayana. Dialah yang dipercaya tetangga-tetangga Ayana untuk membenahi barang-barang Ayana, mengingat Ayana nggak mempunyai siapa-siapa lagi dan Ayana juga selalu bercerita kapada tetangga-tetangganya tentang Shania.
Shania memulai membenahi barang-barang Ayana dari kamarnya. Kamar Ayana terlihat sangat bersih, meskipun berukuran kecil. Semua buku, dan barang-barang di kamar itu telah di pack dengan sangat rapi, bahkan buku-buku pun telah rapi dimasukkan di dalam kardus, seolah Ayana telah sangat siap untuk pergi. Hanya ada beberapa benda yang masih terlihat di meja di kamar itu. Sebuah bolpoint, sebuah gelas berisi air untuk meletakkan bunga mawar putih yang masih terlihat segar dan sebuah buku tebal berukuran kecil berwarna biru. Shania mengambil dan mengamati buku itu.
“Ini seperti, hmmm……” Shania mencoba menebak-nebak,
“Ya, Ini seperti yang Ayana berikan padaku dulu,Nampaknya Dia masih menyimpannya padahal milikku telah hilang entah dimana” Dia berbisik pada dirinya sendiri.
Shania membuka buku itu, semuanya hanya berisi tentang dirinya, Dia terpaku air matanya mengalir ketika dia membaca tulisan-tulisan tangan singkat pada buku itu.
“Sungguhkah hanya aku yang dia miliki? Sungguh aku tak tahu maaf, maafkan aku sahabat aku benar-benar tak pernah mengerti, aku sama-sekali nggak mengerti, Maafkan aku Ayana…”

~SELESAI~



Created by: Muhammad Rizal Dinnur



0 komentar:

Posting Komentar

New Posts